Assalamu’alaikum… Wahai Syaikh, berapa lamakah seorang suami boleh
bepergian meninggalkan istrinya? Misalnya ia pergi ke luar negeri untuk
bekerja? Memang sebagai istri kita suka suami sukses dan mendapatkan
ekonomi yang lebih baik untuk masa depan keluarga, namun istri juga
butuh nafkah batin…
JAWABAN
Ustad Yusuf Mansur
Wa’alaikum salam warahmatullah
الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا
زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا
اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى النَّبِيِّ المُصْطَفَى وَ عَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَ هُدًا
Terima
kasih atas pertanyaan Anda. Pertanyaan ini sangat penting di zaman yang
sering kali orang mengabaikan agamanya dan pada saat yang sama
mengabaikan kewajiban-kewajibannya.
Hal mendasar yang perlu
dipahami adalah, pernikahan bukanlah sekedar menyatukan dua insan untuk
eksis dan berdaya secara finansial. Lebih dari itu, tujuan pernikahan
dalam Islam adalah terealisasinya ketenangan, cinta dan kasih sayang
bagi pasangan suami istri. Lebih tepatnya: sakinah, mawaddah wa rahmah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِنْ
آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا
إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ
لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
(QS. Ar Rum : 21)
Salah satu hal yang membuat suami istri tenang,
tenteram, adalah ketika kebutuhan biologisnya terpenuhi. Hal ini tidak
dapat dipenuhi selain dengan pernikahan. Karenanya, kebersamaan suami
istri dalam rangka menunaikan hak dan kewajibannya, termasuk hak dan
kewajiban biologis ini, menjadi niscaya. Kalaupun suami istri berpisah
karena alasan tertentu, khususnya dalam rangka bekerja, harus ada
waktu-waktu tertentu untuk bertemu dan menunaikan hak kewajibannya
masing-masing.
Sampai berapa lamakah maksimal waktu itu? Profesor
Fiqih Universitas Al Azhar Syaikh Dr Su’ad Shalih mengatakan, “Batas
maksimum suami diperbolehkan berada jauh dari istrinya adalah empat
bulan, atau enam bulan menurut pendapat para ulama Hanbali. Ini adalah
periode maksimum seorang wanita dapat bertahan pemisahan dari suaminya.”
Syaikh
Su’ad menambahkan, suatu malam ketika Khalifah Umar bin Khattab
berkeliling Madinah beliau mendengar seorang wanita bersyair:
Malam ini panjang, berselimut dingin dan kegelapan;
Saya tidur sendiri tanpa teman
Demi Allah, seandainya bukan karena takut kepada-Nya
Niscaya ranjang itu sudah bergoyang
Setelah
menyelidiki, Umar menemukan bahwa suami wanita tersebut telah
ditugaskan di kelompok militer untuk waktu yang lama. Umar kemudian
bertanya putrinya, Hafsah, janda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Berapa lama seorang perempuan dapat bertahan ditinggal pergi suaminya?”
“Empat bulan,” jawab Hafshah.
Lantas
Umar pun memutuskan bahwa ia tidak akan mengirim pria yang sudah
menikah jauh dari istrinya untuk jangka waktu lebih dari empat bulan.
Syaikh
Su’ad mengecualikan untuk istri yang merelakan suaminya pergi lebih
dari empat bulan. Menurutnya, asalkan istri merelakannya dan merelakan
hak tersebut, maka sah-sah saja suami pergi lebih lama dari empat bulan.
Sementara
itu, Mufti Ibrahim Desai menambahkan, “Seseorang yang sudah menikah
bisa tinggal jauh dari istrinya selama periode yang disepakati bersama.
Namun, jika istri tidak senang suaminya lama pergi jauh darinya, maka
suami harus bertemu istrinya setidaknya sekali setiap empat bulan.
Wallahu a’lam bish shawab